Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Renungan Rohani Kristen; Menetapkan Kreteria Pasangan Hidup

Cerpen Renungan Rohani Kristen; Menetaptkan Kreteria Pasangan Hidup

 “Menetapkan Kriteria Pasangan Hidup” 

Percakapan Bermakna

Sudah saatnya bertemu dengan kawan terdekat bahkan dia adalah saudaraku, yang dengan senang mengobrol hal-hal yang imajinasi berpusatkan pada Kristus. Tetapi pada akhirnya sampai pada titik di mana hal itu dapat diterapkan, menjadi prinsip Kristen. 

Hari libur semester yang indah, dengan rintik hujan ku siapkan jaz hujan, bersiap berkunjung ke rumah di kaki bukit yang diselimuti pohon akasia. “Uhhhhh, aku sangat bersemangat hari ini.”

Perjalananku pun dimulai, melewati danau, bukit, dan hutan yang masih cukup asli dan jalan yang sepi. Aku memikirkan,

bagaimana jika Adam dan Hawa tidak jatuh dalam dosa, apakah motor hari ini ada, apakah dunia masih seperti sekarang ini dengan segala kemajuannya akan tetap ada.”

Aku berhenti sejenak di pinggir danau yang masih benar-benar asli, di situ aku melanjutkan apa yang aku pikirkan tadi ketika di atas motor. 

“Rasanya seperti aneh, mereka yang melawan Tuhan, mereka yang memakan buah tersebut. Mengapa aku hari ini juga terpisah dari Tuhan yang menciptakanku.”

Ketika memikirkan hal yang tidak nyata seperti ini, rasanya seperti pikiran terasah sangat kuat. Angin yang berhembus dari seberang danau, hujan yang sudah reda, memberikan aku sedikit lagi kekuatan untuk bertanya di dalam pikiranku. 

“Apakah Tuhan akau sering berkunjung, sampai hari ini jika manusia tidak pernah kehilangan kemuliaan-Nya?”  

Aku pun melanjutkan perjalanan yang kira-kira sepuluh menit lagi akan sampai, yang aku inginkan ketika di sana nanti. Segelas kopi dan makanan ringan. Dengan cukup cepat aku mengendarai motorku, agar dapat meminum segelas kopi di cuaca yang dingin ini.

Sepuluh menit berlalu, aku melihat saudaraku berbeda ayah dan ibu sedang menanam jahe polybag, kami sudah berkawan lama sejak kuliah. Saat itu, pertama kali aku bertemu dengannya ada perbuatanku yang ada dipikirannya sangat tidak sopan.

Ketika kami makan bersama di asrama, kami pada waktu itu belum saling mengenal, dia pun belum bertobat bagitu juga aku. 

Ketika aku melihat ia mengambil lauk lebih banyak dari aku, dengan santainya tanganku maskk ke piringnya untuk mengambil lauknya yang banyak itu, dan itu biasa ku lakukan. 

Tapi ya sudahlah, ia bercerita kepadaku betapa kesalnya dia pada waktu itu, setelah kami menjadi saudara di dalam Kristus.

Ketika ia melihat aku ke rumahnya, dengan wajah ceria dari kaki gunung belakang rumahnya, bergeges turun.

“hallo” sapanya dengan semangat dan baju yang masih berlumuran pupuk kandang. 

“Kamu nagapain ke sini, pergi sana, aku tidak butuh kamu di sini. Pulang-pulang.” 

dengan wajah yang bergaya jengkel, dia bercanda dan candaan yang cukup ekstrim. Jika orang baru melihatnya.

Tanpa menjawab apa-apa dengan tersenyum aku masuk ke dalam rumah langsung ke dapur, mencari kopi dan memanaskan air. 

Saudaraku itu pun lanjut ke sumber air di samping rumahnya untuk membersihkan diri.

Ketika kami bertemu, kami tertawa bersama, dengan candaan aneh ala kami dan aku pun menyediakan kopi untuknya. 

Sadarakuku ini, melayani masyarakat di desa yang tidak jauh dari rumahnya sekarang yang bisa dibilang di tengah hutan,  dan dia memiliki hati yang tulus ketika melayani sesama.

Itu mengapa kami dapat berteman akrap, padahal aku adalah seseorang yang licik dan seringkali agak gila.

Kami pun duduk bersama di lantai, membuka Alkitab, kami ingin belajar tujuan Allah menciptakan manusia. Jadi kami mulai dari kitab Kejadian. 

Sampai pada titik saudara saya menemukan satu konsep yang indah, melalui pertanyaan-pertanyaan yang mendalam.  Dan mempertanyakan pertanyaan yang sangat baik untuk dipikirkan bersama. 

Ini tentang bagaimana manusia mencari pasangan hidup? Dasar yang Alkitabiah dari pencarian itu dan hubungannya dengan tujuan manusia diciptakan.

“Dit” panggilnya.

“ketika dari tadi kita mendikusikan penciptaan, sampai pada titik di  mana Allah mempertemukan Adam dan Hawa. "

"Aku memikirkan tentang Kreteria pasangan hidup yang harus sesuai  dengan prinsip-prinsip firman.”  katanya menjelaskan. 

Kami diajarkan dengan penuh kasih, oleh orang tua rohani kami, bahwa untuk mencari pasangan hidup, kami harus berdoa, seseorang yang cocok dengan kami dan bagaimana Tuhanlah yang harus membukakan kepada kami Kreteria yang cocok untuk kami.

Jadi lebih dulu doakan Kreteria pasangan hidup yang Alkitabiah. Lalu berdoa untuk seseorang yang kami rasa, itu dia orangnya.

“Wahh akan menarik obrolan kita, Ni” (Ni adalah nama panggilan saudaraku) jawabku.

“Kita sudah diajarkan bagaimana kita harus berdoa untuk Kreteria yang cocok untuk kita dan pelayanan kita dan di mana itu harus benar-benar Alkitabiah.” kataku mengikatkan apa yang telah kami pelajari di masa lalu.

Dia menjawabku, “Maka dari itu, aku berpikir, jika kita berdoa berdasarkan prinsip firman, maka kita harus tahu hal-hal yang bertolak belakang dengan firman, terutama budaya kita sekarang."

"Ada banyak nasehat yang masuk ke kita, orang tua kita keluarga kitalah. Yang menetapkan kita harus mendapatkan pasangan seperti ini dan itu, dia harus pintar masak, urus rumah dan lain-lain, apakah, apa yang dinasehatkan oleh keluarga kita itu sesuai firman.” Jawabnya menjelaskan, apa yang sedang ia pikirkan.

Sejenak terdiam dan berpikir, aku mempertimbangkan dua kata yang pas untuk melanjutkan diskusi ini. Yaitu esensi dan yang tidak esensi dari pencarian Kreteria pasangan hidup. 

“Pada dasarnya dalam hal menetapkan Kreteria pasangan hidup yang Alkitabiah, kita harus lebih dulu memiliki dasar kehidupan untuk diri sendiri."

"Untuk apa saya hidup hari ini? Dan aku rasa jawabannya ada di Efesus 2:10, yaiu melakukan pekerjaan baik di dalam Kristus yang telah disediakan  dan dilanjutkan pada Efesus 2:10-12 tentang melayani." 

"Dasar dari semua ini adalah Matius 28:19. Dan aku rasa jika Kreteria pasangan kita ia yang mau melayani Tuhan sama seperti pelayan yang kita kerjakan sekarang, itu sesuai dengan Alkitab.” 

Ni dengan tenang memikirkan percakapan ini agar lebih tajam lagi, lagi pula tentang tujuan manusia diciptakan. 

Lalu ia berbicara “Tujuan hidup memang tidak akan dapat dipisahkan dengan pencarian pasangan hidup, tapi yang menjadi dasar kita memilih pasangan, itulah yang penting, maka sekarang salah satu panggilan kita adalah memiliki pasangan hidup." Di dalam pikiran Ni.

"Apakah itu berdasarkan firman, apakah pasangan kita hanya untuk pemuas perasaan kita dan sebagai bentuk dari kebutuhan sosial kita karena orang lain pun menikah.” pikirnya.

Ni dengan santai menjawab, “setelah aku pikirkan, yang menjadi dasar tambahan yang Alkitabiah dari Kreteria pasangan hidup adalah Matius 22:39, agar kita mengasihi sesama seperti diri sendiri. Dan selanjutnya bagi kita yang adalah Anak Allah, bersama-sama akan hidup melayani."

"Apakah isteri yang hanya pandai dalam urusan nyuci pakaian, pandai masak, bisa membereskan rumah."

"Kamu dan aku, juga bisa lakukan itu, lagi pula kita sudah dilatih untuk itu, tidak perlu semua itu dikerjakan isteri kita. Selanjutnya aku mau tanya lagi, apakah istri kita harus membuatkan kita kopi di pagi hari, apakah dia harus masak buat kita?"

"Kita selalu saja mendapatkan nasehat, bagaimana Isteri dapat melayani suami secara fisik, padahal bagi aku, aku sudah puas dengan diriku sendiri dan aku bisa melayani diriku sendiri dan Tuhan sudah mengajarkannya dengan cara Ia memakai aku sekarang melayani masyarakat.” Ia menjelaskan dengan wahah yang cukup serius.

Aku terdiam dan juga memikirkan hal ini, dan teringat nasehat kakak perempuanku dulu, “kamu cara isteri yang harus rajin, harus bisa melayani kami dan membuatkan kamu heh di pagi hari.” Dan ini sangat biasa. Baiklah aku dapatkan sekarang, aku rasa Ni sangat senang mendengarkan jawabanku ini. Pikirku.

“Oke aku paham sekarang, ini sangat keren dan sangat mendalam. Sekarang kita dapat memikirkan apa yang seharusnya secara esensi kita pikirkan tentang Kreteria pasangan hidup kita, bagaimana apakah kita mulai dari yang tidak esensi ataukah esensi.” Aku meminta pertimbangan.

Ahhhh lama kamu mikir sambil tertawa, aku mulai dari yang esensi.” Dengan nada bercanda.

Aku menjelaskan apa yang aku pikirkan.

“Jadi yang tidak esensi, seorang Wanita harus dapat melakukan ini dan itu, contohnya menyapu rumah, melayani kita seperti membuatkan kopi di pagi hari tidaklah penting."

"Karena apa salahnya kita yang berlebel hamba Tuhan, menyapu rumah kita sendiri di depan anak-anak kita nanti, apa salahnya kita membuatkan minuman hangat untuk isteri kita di pagi hari."

Kita pun harus melayani isteri kita dan anak-anak kita, melakukan hal-hal yang rendah karena pemahaman kita akan Injil Kristus, karena Yesus sudah menjadi ulat di dalam Mazmur 22:7. Untuk menyatakan  cinta-Nya kepada pendosa seperti kita.”

Aku melanjutkan penjelasanku dengan bertanya terlebih dahulu.

“Jadi yang esensi seperti apa?" 

Kreteria yang Alkitabiah. Ini jawabanku secara pribadi, ada dua hal pertama di bidang kesehatannya. Apakah Dia suka menjaga kesehatannya."

"Karena kita tidak akan bisa mewakili kesehatannya, seperti kita membuatkan dia kopi. Apakah dia mau olahraga setiap minggu, karena kita tidak bisa mewakili dia olahraga seperti kita mewakili dia mencuci semua piring setelah makan."

"Dan aku sangat tidak suka perempuan yang tidak suka membaca dan tidak mau mengembangkan dirinya untuk kemajuan pelayan. Kita tidak bisa berkembang sendiri sedangkan isteri kita tidak."

"Baik itu kesehatan yang tidak bisa diwakili dan pengembangan diri tidak bisa diwakili oleh kita dan tidak mungkin juga kita memaksa dia teru menerus untuk melakukan semua gaya hidup yang esensi ini, ini sangat membuang waktu. Begitulah Kreteria esensi yang harus ada di dalam diri Wanita yang sudah lahir baru.”

Aku menjawab dengan penuh semangat dan sangat tercerahkan oleh pertanyaan saudaraku ini, hari tidak terasa sudah mulai sore. Kami akan melayani satu keluarga di desa, aku numpang ikut, mumpung lagi liburan dan tidak ada pelayanan hari itu. Dan besok pagi harus segera pulang ke tempatku melayani. 

Ni menjawab, “secara rohani, kita harus benar-benar memastikan Wanita ini sudah lahir baru, lalu Dia punya hati untuk jiwa-jiwa tidak.” 

Dia melanjutkan, “aku rasa Wanita yang menyangkal diri, akan sangat keren di bawa hidup bersama dan melayani bersama."

"Dia yang cinta  Yesus dan ketika melihat kita dia tahu kita cinta  Yesus, Wanita seperti inilah yang harus menjadi Kreteria kita, jadi tidak lagi mendasarkan pernikahan atau membentuk rumah kita pada perasaan."

"Tapi pada tujuan dari karya keselamatan Yesus Kristus, perasaan sebagai langkah awal dan petunjuk kecil dari kasih itu sendiri.”