Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan Kristen Tentang Kemarahan; Bagaimana Mampu Menguasai Kemarahan Dalam Diri?

Renungan Kristen Tentang Kemarahan; Bagaimana Mampu Menguasai Kemarahan Dalam Diri

Setiap kita memiliki emosi, ketika emosi itu mengarahkan kita pada realita yang tidak menyenangkan. Tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Di sanalah kemarahan muncul. Kemarahan memiliki sisi baik, ketika kemarahan itu adalah kemarahan yang ditujukan memang untuk kebaikan. Untuk menentang dosa, untuk mematikan dosa dan mengkritik kehidupan berdosa secara tajam dan jelas.

Bersama-sama kita melalui tulisan kali ini, kita belajar melihat kemarahan yang seringkali kita hindari, tetapi itu didasarkan pada kehendak Tuhan, berdasarkan firman TUHAN. Kemarahan yang justru akan menghadirkan damai sejahtera, ketika itu untuk mentaati firman Tuhan, kehendak Tuhan. Ketika itu berasal dari Tuhan, ketika kemarahan benar-benar berasal dari kuasa Tuhan yang menginginkan yang terbaik bagi manusia.

Kemarahan berdasarkan kebanggaan diri

Kita hidup di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, tidak ada satu pun manusia yang tidak terjangkit dengan penyakit dosa. Setiap manusia ada di dalam dosa, manusia cinta pada dosa, pada perbuatan yang melawan Allah, memberontak terhadap Allah, pada saat yang sama konsekuensi dosa adalah maut.

Kecenderungan kita yang berdosa inilah yang pada akhirnya menjadikan kemarahan yang menguasai kita, di mana kemarahan kita bukan hanya merugikan diri kita sendiri tetapi juga orang lain bahkan lingkungan kita. Kemarahan semacam ini, merupakan kemarahan untuk mempertahankan kebenaran diri sendiri. Kita harus bertobat, untuk bisa lepas dari kemarahan. 

Kita marah, karena diri kita direndahkan, dengan pemikiran bahwa kita adalah seseorang yang tinggi dan layak untuk dihormati. Kemarahan yang melanda diri kita benar-benar membuat kita merasakan bahwa pusat dari kehidupan adalah diri kita, bahwa tanpa kemarahan dari diri kita semua akan menjadi lebih tidak baik. Tetapi faktanya justru karena kemarahan kitalah semuanya menjadi tidak baik.

Kemarahan yang lahir dari diri kita, dari kemurnian diri maka akan melahirkan penderitaan yang sangat sia-sia. Ketika kemarahan ini, menguasai kita untuk ego kita untuk kepuasan diri kita, untuk keberhargaan diri kita, ini terjadi karena kita adalah orang berdosa. 

Di dalam tulisannya Timothy Keller, menjelaskan dengan baik tentang kemarahan yang berpusat pada diri kita sebagai manusia. 

“Tetapi yang menjadi masalah kemarahan manusia adalah ini:  kita cenderung terlalu mencintai hal-hal yang salah.  Menghargai nama dan reputasi bukanlah hal yang salah, tetapi jika Anda terlalu mencintainya, akan timbul amarah yang berlebihan [tak terkendali] yang pada dasarnya hanya untuk membela ego Anda.  Orang tua mungkin menjadi sangat marah pada anak-anak terutama karena anak-anak mempermalukan mereka di depan orang lain.  Karena cinta kita kacau dan rusak, maka kemarahan kita yang pada dasarnya adalah hal yang baik - sering kali menjadi kejahatan.  Kita perlu memandang kepada Orang yang kemarahan-Nya selalu dipimpin oleh kasih bukan untuk diri-Nya sendiri tetapi untuk kita (Markus 3:5; Yohanes 2:14-17).” (Tim Keller: The Way of Wisdom)

Markus 3:5 (TB) Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ”Ulurkanlah tanganmu!” Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.

Yohanes 2:14-17 (AMD)

14Di sana, di halaman Bait Allah, Ia melihat para pedagang menjual lembu, domba, dan merpati. Ia juga melihat beberapa yang lainnya duduk di meja para penukar uang. 

15Maka, Yesus membuat sebuah cambuk dari tali lalu memaksa orang-orang itu, termasuk domba dan lembu mereka, untuk meninggalkan halaman Bait Allah. Ia juga menjungkirbalikkan meja-meja para penukar uang dan membuat uang mereka berhamburan. 

16Kemudian, Ia berkata kepada pedagang-pedagang merpati itu, “Keluarkan semua ini dari sini! Jangan jadikan rumah Bapa-Ku sebagai tempat untuk berdagang!”

17Hal ini membuat murid-murid-Nya teringat akan perkataan yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kecintaan-Ku terhadap rumah-Mu akan menelan Aku.”

Kemarahan yang tidak terkendali, memiliki akar yaitu penyembahan berhala, mementingkan ciptaan lain yang tidak dapat memuaskan diri kita sebagai manusia. Namun pada akhirnya ciptaan lain itu tidak pernah benar-benar memuaskan kita, penyembahan pada dasarnya adalah kekaguman yang menginginkan kepuasan dari apa yang dikagumi.

Kita ingin apa yang kita pikirkan terjadi sehingga kemarahan menyelimuti hati kita ketika apa yang diinginkan itu tidak pernah terjadi atas kehidupan kita. Maka dari itu, untuk bebas dari kemarahan yang menyesatkan, marilah kita memfokuskan diri kita pada Firman Tuhan, pada Injil, pada kasih karunia, pada kehidupan yang telah dibebaskan dari dosa. 

Pada Poin berikutnya, kita akan belajar, bersama bagaimana Injil mengembalikan kemarahan pada kebenaran, di mana kemarahan yang berdasarkan firman Tuhan, haruslah menjadi gaya hidup Kekristenan kita.

Kebaikan Dari Kemarahan

Timothy Keller memberikan penjelasan yang baik untuk dimengerti berdasarkan, .” Amsal 11:4, 22:14,  “Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut.  Mulut perempuan jalang adalah lobang yang dalam; orang yang dimurkai TUHAN akan terperosok ke dalamnya.”

“Allah sendiri adalah Allah yang murka.  Rasul Paulus memberitahu kita untuk tidak berbuat dosa dalam kemarahan kita (Efesus 4:26), yang berarti bahwa ada tempat yang tepat untuk kemarahan.  Jadi kemarahan itu sendiri bukanlah sesuatu yang buruk tetapi sangat cepat menjadi buruk dalam diri kita. Kemarahan adalah energi yang dilepaskan untuk mempertahankan sesuatu yang Anda cintai.  Allah murka terhadap kejahatan yang menghina-Nya serta menghancurkan apa yang dikasihi-Nya.”

Efesus 4:26-27 (TB) Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.

Mazmur 4:5 (TB) Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. 

Saudaraku, inilah tips praktis tentang kemarahan, bagaimana anda melepaskan diri dari kemarahan. Tetapi yang jelas, kemarahan itu pada dasarnya baik, karena kemarahan Allah terhadap dosa, keadilan Allah terhadap pedosa, itu baik.

Karena kita semua orang berdosa, maka pada dasarnya kemarahan Tuhan seharusnya ditimpakan kepada kita. Kitalah orang fasik yang diberitakan oleh Alkitab, inilah yang dengan jujur Alkitab nyatakan, tidak ada harapan bagi orang fasik dan kefasikan adalah natur kita sebagai manusia. Pemazmur dengan baik menjelaskan hal ini. 

Mazmur 37:20 (TB) Sesungguhnya, orang-orang fasik akan binasa; musuh TUHAN seperti keindahan padang rumput: mereka habis lenyap, habis lenyap bagaikan asap.

Tetapi, ketika kita melihat bagaimana Alkitab memberitakan dosa secara jujur, lalu dari cara pandang Injil kita berusaha mengerti. Maka pada saat inilah kita dibukakan satu fakta, bahwa kita bukan hanya dibenci, tetapi kita adalah pendosa yang dikasihi.

Kasih Allah kepada kita dinyatakan melalui kematian Kristus di atas kayu salib. Dia yang telah hidup sempurna bagi kita, Dia yang telah melakukan apa yang dikehendaki Allah Bapa, atas kehidupan-Nya ditimpakan semua dosa, semua pemberontakan, semua kutuk, sehingga di atas kayu salib. Kita dapat merenungkan melihat bahwa Yesus menjadi manusia paling berdosa. Dan kita dikuduskan oleh karena kekudusan Kristus, dibenarkan oleh karena kebenaran Kristus.

Merenungkan Injil, di mana Yesus disalibkan dan sebelum Ia disalibkan dapat membawa kita pada pengertian yang mendalam tentang kehidupan yang tidak marah berdasarkan perasaan. Bukanlah kemarahan yang dikuasai oleh kepentingan diri tetapi kemarahan yang berdasarkan kekudusan. Kemarahan yang didasarkan untuk kebaikan orang yang menerima kemarahan. Karena kita tahu, dosa selalu saja menghina Allah dan menjadikan manusia binasa dalam segala dosanya.

Di mana kita marah terhadap dosa, perbuatan dosa, baik itu yang ada di dalam diri kita dan di dalam diri orang lain. Kita hidup untuk mematikan dosa yang ada di pusat hati dan pikiran kita, kita marah kepada sesama kita yang cinta pada dosa dan memberikan pengertian bahwa dosa hanya membawa mereka kepada kebinasaan.

Demikianlah kemarahan orang-orang kudus di dalam Yesus adalah kemarahan terhadap dosa, mereka membenci dosa dan berjuang dalam kasih karunia untuk mengalahkan dosa mereka. Dan menolong orang lain untuk meninggalkan dosa mereka.

Pagi tadi, 08:59 (02/05/2022) saya dikirimkan renungan yang ditulis oleh ibu Susie H. dari Melbourne menjelaskan tentang bagaimana Firman seperti palu yang terus dipukulkan ke batu hingga memecahkan batu tersebut.

Saat Teduh dari Ibu  Susie H. (Dari Navi. Melbourne)

Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu? (Yeremia 23:29). FIRMAN TUHAN tidak digambarkan sbg alat berat spt: traktor, buldozer tp spt palu yg mskipun kecil tp dpt menghancurkan bukit batu. Harus diulang2, berkali2, tidak cukup sekali, dua kali, bahkan puluhan ribuan kali, hingga menghancurkan kebiasaan dosa, kekerasan hati kita hancur.

Doa oleh Tim Keller dalam tulisannya The Way of Wisdom:  Tuhan, adalah dosa jika saya tidak marah pada perbuatan salah yang dilakukan kepada orang lain.  Tapi saya tidak melakukan itu.  Sebaliknya saya marah ketika kehendak saya dilanggar.  Tolong saya belajar untuk marah pada dosa, bukan pada orang berdosa -- pada masalahnya, bukan pada orangnya.  Amin.