Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan Harian Hari Ini 1 Korintus 1:2 (Oswald Chambers)

Renungan Harian 4 Oktober 2022; 1 Korintus 1:2 (Oswald Chambers)

Visi (Penglihatan) (dari Allah) dan Realitas

Oleh Oswald Chambers

1 Korintus 1:2 (TB) kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita.

Syukur kepada Allah yang dapat melihat hal-hal yang belum kita lihat. Kita telah memperoleh visi/penglihatan, tetapi kita belum mencapai realitas atau kenyataan visi itu sama sekali. Pada waktu kita berada di lembah, tempat kita membuktikan apakah kita layak menjadi orang pilihan, justru kebanyakan dari kita undur. 

Kita tidak siap menghadapi kesukaran yang pasti datang jika kita akan dibentuk sesuai dengan visi tersebut. Kita telah melihat keberadaan kita yang tidak semestinya dan melihat menjadi seperti apa kita dikehendaki oleh Allah. Namun, apakah kita bersedia ditempa menjadi bentuk yang sesuai dengan visi itu untuk dipakai oleh Allah? Tempaan itu akan selalu datang melalui berbagai cara yang paling umum dalam hidup sehari-hari, dan melalui orang-orang yang dengannya kita berinteraksi setiap hari.

Ada waktunya ketika kita tidak mengetahui apa maksud Allah. Apakah kita mau membiarkan visi itu dibentuk menjadi karakter yang sesungguhnya tergantung pada kita, bukan kepada Allah. Jika kita lebih suka berleha-leha di puncak gunung dan hidup dalam kenangan akan visi/penglihatan itu, kita sesungguhnya tak berguna dalam hal-hal biasa yang untuknya kehidupan manusia diciptakan. 

Kita harus belajar hidup dengan mengandalkan hal yang kita lihat dalam penglihatan, bukan semata-mata hidup dalam luapan sukacita dan perenungan (refleksi) tentang Allah. Ini berarti menghayati realitas hidup kita dalam terang penglihatan sampai kebenarannya benar-benar terwujud dalam diri kita. Setiap bagian dari pelatihan kita mengarah ke sana. Belajarlah bersyukur kepada Allah karena membuat tuntutan-Nya jelas bagi kita.

Sikap “aku adalah aku” yang kerdil dalam diri kita selalu jengkel dan mencibir ketika Allah mengatakan kepada kita untuk melakukan sesuatu. Biarkanlah keakuan Anda yang kerdil itu menjadi ciut dalam murka Allah yang berkata, “AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu” (Keluaran 3:14). Dia di atas segala sesuatu.

Bukankah sangat menusuk hati menginsafi bahwa Allah bukan hanya tahu di mana kita tinggal, tetapi juga mengetahui tempat-tempat terendah dalam kehidupan yang kita ratapi. Tidak ada manusia yang mengenal manusia seperti Allah mengenalnya.

Refleksi Pribadi saya;

Hidup dalam pekerjaan Tuhan, bukanlah perkara yang mudah ada tanggungjawab yang sangat besar ditaruh di dalam diri kita yang telah menerima visi Allah. Suatu ketika saya dan kawan-kawan pelayanan kami membicarakan tentang bagaimana pelayanan kami akan menerima sokongan dari orang-orang yang bekerja, yang memiliki hati melayani tetapi tidak memiliki waktu.

Ini bukan tentang kecukupan, ini tentang menjalankan visi Allah di muka bumi ini sebaik mungkin. Dengan penuh tanggungjawab dan kerelaan hati. Ketika memutuskan untuk melayani dan menangkap visi Allah, memang hal itu pada mulanya mendatangkan sukacita, tetapi berlanjut pada titik di mana visi itu sangatlah menakutkan.

Ada dosa di dalam diri saya, diri kita sehingga kita seringkali jatuh dan hidup dalam kegagalan yang sempurna dan merasa bahwa mustahil rasanya dapat menjadi pelayan yang setia. Iblis tidak akan diam saja dan membiarkan kita bersukacita di dalam visi Allah yang harus kita hidupi, perjuangkan dan doakan setiap hari. 

Setan akan terus berusaha, mengalihkan fokus kita, membawa kita pada titik buta diri sendiri. Setan akan membawa kita pada kebingungan yang mengerikan, rasa tidak nyaman yang berkelanjutan bahkan setiap dosa di dalam diri kita, membawa kita pada titik kecewa dan merasa benar-benar tidak mampu melakukan seperti yang Tuhan ingin kita lakukan.

Tetapi, pada saat yang sama visi ini dapat berjalan bukan terletak pada kemampuan kita untuk setia. Melainkan penyerahan diri kita, di mana kita mengakui ketidakmampuan kita dan memohon belas kasihan Tuhan untuk memampukan kita. Dan pada saat inilah kesetiaan Tuhan pada kita benar-benar kita rasakan dan kita benar-benar dimampukan. 

Menikmati kesetiaan Tuhan, membawa kita pada rasa bersyukur karena Dia telah memperkenalkan diri-Nya kepada kita untuk dibawa oleh-Nya kepada kasih karunia, pada Injil yang menjadi kekuatan kita yang telah menyelamatkan kita dan membawa kita pada visi-Nya atas kehidupan.